Memberi-Meminta Maaf

mardiatmadja-sj-hidup-katolik.jpg

Placido Domingo, Luciano Pavarotti, dan Jose Carreras, pernah menjadi tiga tenor utama dunia. Namun, persahabatan mereka pernah tercemar oleh permusuhan persaingan.
Dalam suasana itu, Carreras sakit leukemia. Mereka lalu memaafkan permusuhan itu dan mendirikan yayasan untuk membantu mengobati para pasien leukemia, antara lain Carreras. Begitulah, “maaf” telah ikut mengobati Carreras.

Lain orang adalah Karol Józef Wojtyla. Ia pernah mengagetkan sahabat dan lawan, ketika mengunjungi suatu penjara, mengobati kebencian politis-religius. Ia menemui seseorang yang telah menyebabkan Kepala Negara Vatikan ini cukup lama menjalani rawat inap: sebab orang itu mencoba membunuhnya dengan sengaja. Wojtyla sudah lama memaafkannya. Berat, tetapi telah dilakukannya: memberi maaf seorang penjahat. Ini begitu berbeda dengan suatu negara, yang malah menentukan dalam kitab hukumnya: hukuman mati untuk orang yang mencoba membunuh kepala negara.

Bs Mardiatmadja:
Bung Karno pernah menolak menghancurkan lawannya-semacam memberi maaf-supaya rakyat tidak perlu mencurahkan darah dalam konflik itu. Tidak mudah memberi maaf atas suatu kesalahan berat yang dilakukan lawan. Dibutuhkan pertimbangan matang dan bahkan hati yang besar. Maaf sejati, tak mungkin diberikan dengan sekadar kartu “maaf lahir-batin”; walau kadang-kadang kartu maaf-memaafkan dipakai sebagai bagian dari ritual tradisional; yang malah berwarna religius. Ketika Perang Dunia II berakhir, segera diadakan perdamaian ke arah “saling memaafkan”. Bantuan Marshall Plan untuk pembangunan merupakan wujud “maaf internasional” kepada Jerman yang pernah memorakporandakan Eropa. Selangkah demi selangkah, Jerman menjadi bagian masyarakat bersama Eropa: yang saling memaafkan dan saling membantu. Di situ maaf religius disuburkan oleh maaf ekonomis, politis, dan budaya.

Pergumulan untuk mencapai puncak persahabatan yang mengandaikan maaf sejati tak pernah mudah. Walaupun ada persahabatan antara Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara Eropa, tetapi kecurigaan tetap ada, antara lain krisis yang terjadi akibat berita disadapnya telepon tokoh-tokoh Eropa.
Maaf persahabatan

Ketegangan Pakistan dan India mencampurkan politik, ekonomi, dan soal-soal religius dalam pembangunan Asia Selatan. Maaf, amat sulit diberikan oleh sebagian rakyat yang secara emosional diikat oleh keyakinan batin berbeda sehingga pandangan hidupnya pun berlainan. Maaf hanya dapat dipertukarkan, apabila secara praktis dan strategis diberi jalan mewujudkan persahabatan, mengatasi persaingan dan permusuhan yang berkepanjangan.

Duduk menulis dokumen atau kartu “permintaan dan pemberian maaf” dapat menjadi sekadar ritual kosong, kalau tidak ada upaya kultural dan komuniter yang nyata. Islah pada lapisan mana pun membutuhkan maaf lahir-batin yang nyata, bukan sekadar verbal dan ritual.

Maaf sangat sulit diberikan, ketika kedua belah pihak mempunyai catatan kejahatan atau pengkhianatan partner secara rinci dan berkepanjangan. Masalahnya menjadi lebih dalam daripada sekadar soal prosedural atau komunal. Di dalamnya tersimpan rasa harga diri dan kehendak untuk “tahan harga”. Meskipun demikian, tradisi saling memaafkan dapat menjadi semacam “latihan rohani” supaya memberi dasar “saling memaafkan yang lebih sejati dan tidak sekadar kebiasaan”. Seperti jalan kaki pagi hari, menjadi latihan jasmani agar badan sehat, yang berguna walau tidak selalu diisi oleh mental yang sehat (mens sana in corpore sano). Untuk itu diperlukan latihan jasmani yang setia dan bersungguh-sungguh.

Tidak ada gunanya usaha sehat, kalau sehari jalan pagi dan hari lain tidak jalan pagi, tidak bermanfaat kalau seseorang sehari berlatih angkat beban dan hari lain bermalas-malas. Demikian pula dengan maaf-memaafkan: ini adalah latihan rohani. Tidak ada gunanya hari ini memaafkan dan besok sudah saling mencaci maki. Itulah sebabnya islah tak pernah terjadi pada beberapa pasang lawan.

Latihan rohani memerlukan kesediaan untuk terus menerus menjalankan sikap mental memaafkan: dari segi yang paling materiil (kirim kartu) sampai dengan mendatangi (silaturahim) dan bekerja sama serta akhirnya saling menerima pendirian untuk benar saling menghargai. Itu pun perlu dilakukan tanpa henti: dengan mengikutsertakan fisik, psikis, mental, dan rohani kita.

Banyak contoh, khususnya di kalangan peserta paralympic maupun olimpik memperlihatkan gabungan antara latihan fisik, psikis, dan mental tinggi.
Latihan rohani dalam hal maaf-memaafkan secara bersungguh-sungguh lebih sulit lagi karena di dalamnya tersangkut tidak hanya prosedur dan tata cara, tetapi juga perubahan mental dan kerohanian. Di sana bukan sekadar emosi dan otak, tetapi juga sikap batin. Itu sebabnya, puasa merupakan hal amat penting, yang tak dapat dipisahkan dari saling memaafkan. Kalau tidak mau sekadar melanggengkan ritual, melainkan sungguh mau mengubah bangsa dan manusia, tradisi saling memaafkan mengandaikan pemaafan sejati yang terus menerus. Hal itu mencakup pengakuan bahwa pihak lain memiliki martabat sama dan rasa harga diri yang sama serta dasar rohani yang tidak kalah berharganya dengan yang kita miliki sendiri.

Dalam hal itu, perlulah iman masuk: bahwa kita sama-sama ciptaan Tuhan; tak satu pun dari antara kita dengan sendirinya lebih benar dan lebih baik dari yang lain. Maka, memaafkan, bukanlah sesuatu yang “terpuji”, tetapi sesuatu yang kodrati. Bukanlah manusia sejati yang beriman pada Yang Maha Akbar kalau kita memutlakkan kebenaran kita sendiri, apalagi kebenaran politis atau kebenaran ekonomis dan budaya. Kalau hal itu kita latih tiap hari dan tidak hanya sekali setahun, maka kita melakukan latihan rohani yang menguatkan kepribadian kita dan membangun bangsa secara mendalam. Justru karena itu, tetaplah kita ucapkan “Mohon maaf lahir-batin”.

Bs Mardiatmadja
Rohaniwan
Sumber: http://kompas.com/2015/07/21
gambar/foto: hidupkatolik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *